KRISTOLOGI YANG TERBUKA

Dalam kehidupan beragama, setiap waktu agama Kristen selalu bersentuhan dengan realitas eksistensi agama-agama lain. Tidak dapat dipungkiri, sebagian besar orang-orang Kristen, mengalami dilema yang hebat. Antara mempertahankan kepercayaan yang teguh dan satu-satunya kepada Kristus (pemahaman Kristologis), dan tuntutan untuk terbuka terhadap kebenaran dalam agama lain. Menyikapi fenomena ini, banyak teolog mengusulkan untuk mencetuskan pemahaman kristologi yang lebih terbuka terhadap agama-agama lain. Karena, tidak dapat disangkali bahwa, pemahaman kristologi yang dimiliki oleh kekristenan, merujuk pada dua asumsi. Yakni, pemahaman kristologi yang eksklusif, berasumsi bahwa Kristus yang diimani dalam ajaran kekristenan, merupakan satu-satunya jalan keselamatan manusia. Pemahaman kristologi yang inklusif, berasumsi bahwa agama lain juga mengajarkan kebenaran dan keselamatan, tetapi pokok keselamatan itu, tetaplah ada pada Yesus Kristus. Pemahaman kristologis seperti ini, merupakan warisan dari sejarah perkembangan kekristenan mula-mula. Untuk membahas mengenai kristologi yang terbuka, penting untuk mengetahui terlebih dulu, apa sebenarnya kristologi itu. Kemudian, bagaimanakah seharusnya pemahaman kristolgi itu, ketika agama Kristen bertemu dengan agama-agama lain.

1. Apa itu Kristologi?
Kristologi adalah bentuk teologi Kristen atau hakikat Kekristenan yang mempunyai dasar dan pusat pada Yesus Kristus . John Macquarrie dalam bukunya menyebut Kristologi sebagai: “Kristologi adalah studi dengan subyek Yesus Kristus, pribadi dan pekerjaanNya, atau, dilihat dari sudut lain, siapa ia sebenarnya dan apa yang dilakukanNya.” Menurutnya, studi Kristologi sudah ada semasa hidup Yesus sendiri yaitu bisa dilihat dari sudah adanya pertanyaan mengenai diriNya semasa hidupNya. Kepada murid-muridNya ia bertanya “Kata orang siapakah Aku ini?” (Mark. 8:27). Menurut pakar Kristologi Raymond E. Brown dalam bukunya disebut bahwa,“Kristologi membahas pengertian mengenai Yesus dalam hubungan dengan siapakah Ia dan peran yang dilaksanakanNya dalam rencana Allah”. Brown juga mengemukakan bahwa ada dua pandangan tentang Kristologi, yaitu yang biasa disebut Kristologi Rendah “Low Christology” dan Kristologi Tinggi (High Christology). Istilah tinggi rendah ini tidak ada hubungan dan sangkut pautnya dengan pengertian mana yang lebih tinggi atau mana yang lebih rendah dari lainnya. Hanya saja Kristologi rendah yaitu yang melihat Yesus dalam hubungannya dengan kemanusiaanNya dan Kristologi Tinggi, melihat Yesus dalam hubungan dengan ketuhananNya. Memang tidaklah mudah untuk mempelajari nama-nama Yesus, baik yang tergolong “rendah” maupun “tinggi” , sebab persoalan Kristologi bukanlah masalah sederhana, sehingga dapat dimaklumi apabila terdapat banyak kekeliruan dan penyimpangan pendapat didalamnya. Lebih lagi menurut John Macquarrie, bahwa kompleksnya bahasa Kristologi timbul dari percampuran pengertian antara sejarah dan teologi. Menurutnya pula disatu segi sejarah berdasarkan asumsi ilmiah, sedangkan teologi berdasarkan simbol-simbol maupun ‘mitologi’. Macquarrie juga memberi contoh bahwa apa yang kita mengerti mengenai Yesus dalam studi kitab Markus lebih bersifat cerita sejarah, sedangkan apa yang kita mengerti dari surat-surat Paulus lebih merupakan refleksi teologis.
Dengan demikian soal kristologi adalah soal ajaran atau dogma juga. Namun dogma ini telah menjadikan Kekristenan sebagai agama yang priori, bagi keberadaan agama-agama lain juga. Interpertasi makna terhadap konsep kristologi, yang kemudian juga telah menjadikan Kekristenan terkungkung dalam pencitraan diri yang keliru itulah kemudian haruslah kita kritisi. Sebab terlihat jelas bahwa Kristologi yang dibangun hanyalah suatu Kristologis dogmatis, dan karena itu yang perlu diperhatikan lebih serius adalah Kristologi yang utuh .

2. Kristologi Kristen dan Yang Lainnya
Menempatkan Yesus dalam sederajat dengan pewahyu-pewahyu lain berarti menyerobot daya tahan komitmen murid kristiani dan mengendorkan keberanian para nabi kristiani dalam mengadukan kejahatan . Dalam prinsip ini, Kristologi dipahami memiliki dimensi yang ilahi dan sangat substansial, dan karena itu pereduksian kesederajatan dimensi ini, akan membuat Kristologi itu tidak memiliki makna.
Namun menempatkan Kristologi dalam kaitannya dengan pemaknaan akan iman yang lain menjadi suatu masalah besar. Dan karena itu menurut Knitter, Kristologi itu harus ditinjau kembali. Bahwa para teolog harus mengakui gambaran mengenai Yesus merupakan Kristologi suku yang dapat dimurnikan oleh kristologi yang ditinjau kembali, suatu Kristologi yang “mengisinkan orang-orang Kristen mencari karya Kristus di mana pun juga tanpa mengandaikan bahwa mereka mempunyai pengenalan yang lebih baik atau monopoli terhadap misteri yang telah diwahyukan kepada mereka dengan cara yang unik . Oleh karena itu orang Kristen harus mengenal wajah Kristus dalam diri sebagaian orang yang mengikuti jalan lain, melalui dialog .
Kristologi, yang berkaitan dengan klaim-klaim keilahian Yesus dan kedudukannya sebagai Jureselamat yang Universal adalah pengakuan iman yang muncul dari pengalaman komunitas Kristen , yang kemudian menjadi masalah besar disini adalah apakah Kristus itu ada pada yang lainnya, jika Ia adalah penyelamat yang universal. Dalam paradigma berpikir Kristen yang lebih korelasional. Bahwa Kristus datang untuk semua manusia. Dan manifestasi Kristus itu tidaklah dapat dipahami secara rasional hanya berdasarkan subjektifitas semata, namun hal itu harus dipahami didalam relasi iman yang aktual. Bahwa keselamatan yang diberikan Allah adalah anugerah bagi semua umat manusia. Dan konsep keselamatan dalam agama-agama menngindikasikan bahwa keselamatan itu untuk semua dan berasal dari Allah yang satu.
Mengenai hal ini kita harus meaehami bahwa sebenarnya Kristologi juga ada pada agama yang lain-nya. Pemaknaan Kristus berorientasi pada penyelamatan dan bukan kristus yang historis (dalam dogma-dogma). Karena Kristus penyelamat, maka Ia juga memanifestasikan dirinya dalam keberagamman yang lainnya. Oleh karena itu konsep Kristologi pada yang lainnya menyadarkan kita bahwa hal itu benar-benar ada. Kristologi bukan lagi ekslusif tetapi terbuka. Kristologi terbuka ada untuk menyuarakan bahwa keselamatan juga ada dalam agama-agama lain. Karena, keselamatan adalah anugerah Allah yang Universal, tinggal bagaimana penganut agama lain menyadari akan kebenaran itu dan menjadikannya dasar iman mereka, begitu juga dengan Kekristenan sendiri .

3. Kristologi Yang Terbuka sebagai Tawaran Kekristenan Terhadap Pluralisme Agama-Agama.
Dalam tulisannya , Aloysius Pieris, menekankan bahwa apa yang menjadi ingatan kolektif yang dipadu dalam upaya fusngsionalisme sistem komunikasi adalah ‘penafsiran’. Kristologi menafsirkan Yesus sebagai perantara keselamatan yang ekslusif bagi semua, logos, gambar, Firman, jalan dan lain-lain. Namun Kristologi ini bukan penafsiran yang menyelamatkan. Yang memperantarai keselamatan adalah perantaranya sendiri, dalam idiom bahasa apapun hal ini dialami, diakui dan disebut. Demikian gelar-gelar seperti “Kristus” hanyalah kategorisasi manusia yang terbatas pada budaya tertentu. Yang memperantarai pembebasan adalah perantara yang baginya sebuah budaya seperti halnya dengan budaya-budaya lainnya, dapat memutuskan nama apa yang dapat diberikannya: Kristus, Anak Allah dan lain-lain, ataukah Dharma, Tathagata dan lain-lain, masing-masing sesuai idiom keagamaannya sendiri . Hal ini berarti, dalam tiap agama, memiliki akar-akar pemahaman kristologi yang tergantung pada idiom budaya yang melekat pada agama itu.
Isu pluralisme agama, menjadi isu yang penting dibicarakan secara global. Isu pluralisme agama, dikembangkan dengan salah satu sasaran membangkitkan kesadaran agama-agama untuk terlibat dalam tanggung jawab global. Bagaimana agama-agama dapat terlibat dalam satu misi, jika masing-masing dengan keras kepala berpegang pada ajaran-ajaran dogmatisnya, yang tidak terbuka terhadap yang lain? Pertanyaan ini pula, disodorkan kepada orang-orang Kristen, berkaitan dengan ajaran mengenai Yesus Kristus. Karena pada saat mempelajari Kristologi, kita berada pada pusat teologi Kristen. Menurut defenisi, istilah Kristen itu sendiri berarti orang yang percaya kepada Kristus dan menjadi pengikut Kristus. Maka pengertian mereka tentang Kristus harus menjadi yang utama dan meyakinkan tentang sifat utama iman Kristen. Semua hal lain tidaklah sepenting dengan apa yang dipikirkan tentang Kristus. Dengan demikian, orang-orang Kristen harus memberikan perhatian yang khusus dan saksama tatkala menyusun Kristologi.
Menyikapi isu pluralisme Paul Knitter kemudian memberikan solusi. Yaitu, untuk mengembangkan bentuk kristologi kontemporer, yang disebut kristologi yang terbuka. Seorang teolog tidak dapat menyusun kristologi, atau pandangan mengenai Yesus, kemudian melihat bagaimana hal itu dapat diterapkan dalam dialog dengan agama-agama lain. Keprihatinan pada tuntutan untuk berdialog dengan agama lain, tidak dapat hanya menjadi sesuatu yang diangkat, setelah kristologi disusun. Tetapi, realitas dari agama-agama lain dan tuntutan untuk berdialog, harus menjadi prasyarat untuk mengenal siapa Yesus. Dengan kata lain, Knitter ingin mengatakan bahwa pemahaman kristologi dapat dibangun, setelah orang-orang Kristen mengakui eksistensi agama lain, dan bersikap terbuka untuk berdialog dengan mereka. Knitter juga mengutip sebuah catatan yang menyatakan bahwa, “pluralisme religius merupakan bagian dari titik pijak kristologi yang dimulai dengan hidup dan pengalaman Kristen di dunia sekarang pluralisme religius membentuk konteks a priori bagi pemikiran kristologis”.
Kristologi kontemporer yang terbuka, tidak dimaksudkan untuk mengalihkan landasan iman Kristen kepada Yesus Kristus ke landasan iman agama lain. Tetapi, melihat, memahami, dan mengakui karya Kristus sang Penyelamat, dalam keberadaan agama-agama lain. Kristologi kontemporer yang terbuka, dapat tercipta melalui dialog antar-agama (pluralisme religius).

(Tugas pada Mata Kuliah Teologi Agama-agama - UKIM, Medio 2010)